Senin, 07 Januari 2013

TAUSYIAH SUBUH "HUKUM AHLI WARIS 2"

Oleh: Ust. Mardi Chandra

Pertemuan V

KEWARISAN ANAK ANGKAT
A.    Pengertian Anak Angkat

Istilah anak angkat yang berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “adoption”, mengangkat seorang anak.  Menurut Simorangkir, artinya Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan dengan anak kandung.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan dengan pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak sendiri.
Dalam bahasa Arab, adopsi identik dengan kata tabanni yang berarti “mengambil anak”.
Terdapat dua pengertian anak angkat. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang diperlakukan sebagai anak sendiri tanpa diberi status anak kandung. Kedua, dengan memberikan status sebagai anak kandung dan memakai nasab orang tua angkatnya, dan saling mewarisi. Adapun pengertian anak angkat yang sesuai dengan hukum Islam adalah pada pengertian pertama.
Dalam hukum Islam, anak yang boleh dinasabkan kepada orang tua angkatnya hanyalah atas kasus al-Laqith (anak pungut), yaitu anak yang dipungut yang tidak diketahui asal-usulnya secara jelas, seperti bayi yang ditemukan dipinggir jalan, dan orang yang menemukan itu mengakui sebagai anaknya.

Di Indonesia, pengangkatan anak pada mulanya dijalankan berdasarkan Staatsblad (lembaran negara) nomor 129 tahun 1917.    

B.    Kewarisan Anak Angkat
Dalam hukum Islam, kewarisan anak angkat hanya didapat melalui lembaga wasiat wajibah. Kemudian, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, istilah wasiat wajibah disebutkan pada Pasal 209 Ayat 1 dan Ayat 2 sebagai berikut:

  1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadp orang tua angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya;
  2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. 
Pertemuan VI

AHLI WARIS PENGGANTI

A.    Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Islam

Secara sederhana ahli waris pengganti dapat berarti pengganti ahli waris. Para pakar hukum berbeda pendapat tentang keberadaan ahli waris pengganti dalam hukum Islam. Misalnya, Wirjono Projodikuro dan beberapa sarjana lain menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengenal ahli waris pengganti. Sedangkan menurut Hazairin dan Sayuti Thalib ahli waris pengganti memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan penafsiran terhadap kalimat mawali dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 33 sebagai berikut:
Artinya: “Dan bagi tiap-tiap ahli waris kami jadikan penggantinya”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris pengganti ditegaskan pada Pasal 185 Ayat (1) dan (2) sebagai berikut:
  1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, terkecuali yang tersebut dalam pasal 173;
  2. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
    
B.    Ahli waris pengganti dalam KUH Perdata (BW)

Dalam KUH Perdata (BW) dikenal 3 (tiga) macam ahli waris pengganti (representative atau bij-plaats-vervulling), yaitu:
  1. Penggantian dalam garis lencang ke bawah , Penggantian dalam hal ini dapat terjadi tanpa batas, dimana tiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh semua anaknya, begitu pula jika pengganti tersebut meninggal mak ia digantikan pula oleh anak-nya juga dan seterusnya. Dengan ketentuan bahwa segenap turunan dari satu orang yang meninggal dunia lebih dahulu harus dianggap sebagai suatu staak (cabang) dan bersama-sama memperoleh bagian orang yang mereka gantikan. 
  2. Penggantian dalam garis ke samping , Penggantian dalam garis ke samping (zijiline), di mana tiap-tiap saudara si meninggal, baik sekandung maupun tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anak-anaknya. Penggantian dalam hal ini juga bersifat tiada batasnya (Pasal 853, 856, jo. 857).  
  3. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang, Dalam hal datuk dan nenek, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, maka harta peninggalan diwarisi oleh golongan keempat, yaitu paman sebelah ayah dan sebelah ibu. Pewarisan ini juga dapat digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam (Pasal 861 KUH Perdata).
Pertemuan VII

PENGHAPUSAN HAK WARIS

A.    Halangan mewarisi dalam Hukum Islam

1.    Perbudakan
Alasannya adalah:
  1. Seorang budak dipandang tidak cakap menguasai harta benda, bahkan tidak cakap bertindak hukum.
  2. Status keluarga terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus, karena ia menjadi keluarga asing. Dasar hukum al-Qur’an surat an-Nahl ayat 75: Artinya: “Hamba yang dimilki atau hamba yang mempunyai harta benda tidak mempunyai keuasaan atas apapun juga.”
2.    Pembunuhan, Penganiayaan Berat, dan memfitnah
Pasal 173 KHI menegaskan bahwa, seseorang terhalang menjadi menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah BHT, dihukum karena:
  1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
  2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

3.    Berlainan Agama dan Murtad
Hadits Rasulullah sebagai berikut:
Artinya: “Orang Islam tidak mewarisi dari orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam”

4.    Hilang Tanpa Berita
Seseorang yang hilang tanpa berita, tak tentu dimana alamat dan tempat tinggalnya selama 4 (empat) tahun atau lebih, maka orang tersebut dianggap mati (mati hukmi), dengan sendirinya tidak mewaris (mafqud). Akan tetapi menurut Fathur Rahman, mati tersebut harus dengan putusan hakim.

B.    Halangan mewarisi dalam KUH Perdata (BW)

Sesuai menurut Pasal 838 KUH Perdata (BW) yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris, dan karenanya dikecualikan dari pewarisan, yaitu:
  1. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal;
  2. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si yang meninggal dunia telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara 5 tahun lamanya, atau hukuman yang lebih berat;
  3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;
  4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang meninggal.   
Pertemuan VIII

KEWAJIBAN SEBELUM HARTA WARIS DIBAGIKAN

Kewajiban yang bersangkutan dengan harta warisan sebelum dibagikan adalah sebagai berikut:
  1. Tajhiz (biaya perawatan dan penyelenggaraan jenazah) , Biaya perawatan (pengobatan) yang masih terhutang diambilkan dari harta si mayit tersebut. Kemudian biaya penyelenggaraan jenazahnya sampai selesai penguburan. Biaya yang dikeluarkan tidak berlebih-lebihan, sehingga mengurangi hak ahli waris dan jangan pula terlalu kurang, sehingga mengurangi hak si mayit. Semuanya dilakukan dalam batas kewajaran keluarga yang bersangkutan. 
  2. Pembayaran Hutang. Hutang ada dua macam, yaitu pertama, Dainullah (hutang kepada Allah) seperti membayar kafarah, nazar, niat pergi haji dan zakat. Kedua, Dainul ibad (hutang kepada manusia). Dari kedua hutang tersebut, menurut sebagian fukaha’ maka hutang kepada Allah adalah lebih utama untuk dibayar berdasarkan hadis nabi saw. : “…… maka hutang kepada Allah itu lebih hak untuk dibayar.” Sedangkan sebagian ulama lainnya, menyatakan bahwa hutang kepada Allah tidak perlu dibayar lagi setelah seseorang wafat. Pasal 833 ayat (1) KUH Perdata menyatakan, bahwa ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan piutang dari pewaris. Akan tetapi, di sisi lain para ahli waris juga memiliki kewajiban dalam hal pembayaran hutang, hibah, wasiat, dan lainnya dari pewaris, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1100 KUH Perdata. Terkait hal tersebut, maka hutang dari debitur yang telah meninggal dunia tersebut dapat dialihkan kepada ahli warisnya berdasarkan ketentuan dalam KUH Perdata. Dalam Pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam, juga diatur pembayaran hutang pewaris sebelum harta warisan dibagikan. 
  3. Pelaksanaan Wasiat. Wasiat adalah memberikan hak untuk memiliki sesuatu secara sukarela (tabarru’) yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah yang berwasiat meninggal dunia, baik yang diwasiatkan itu berupa benda ataupun manfaat. 
  4. Pembayaran zakat Apabila seseorang meninggal dunia, dan ia belum membayarkan zakat hartanya pada tahun itu, maka haruslah dibayarkan zakatnya terlebih dahulu sebelum harta pewaris tersebut dibagikan kepada ahli waris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar