Senin, 31 Desember 2012

TAUSYIAH SUBUH "HUKUM AHLI WARIS"



Oleh: Ust. Mardi Chandra

Pertemuan I

PENGERTIAN DAN SEJARAH HUKUM WARIS

I.                   Pengertian

A.    Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam (fiqh), hukum waris dikenal juga dengan istilah hukum fara’id, jamak dari fariidah yang berarti bagian-bagian tertentu.
 B.     Menurut Idris Ramulyo
Hukum kewarisan adalah, himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan dari si meninggal dunia, bagaimana kedudukan ahli waris, berapa perolehan masing-masing secara adil dan sempurna.
 C.     Menurut Wirjono Projodikuro (BW)
Hukum waris adalah, hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang hukumnya seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
  D.    Menurut Kompilasi Hukum Islam
Hukum kewarisan adalah, hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.

Beberapa pengertian lainnya:
 -          Pewaris yaitu, orang yang meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan;
-          Ahli waris yaitu, orang yang mempunyai hubungan perkawinan atau darah dengan pewaris

II.                Sejarah
A.    Sebab mewarisi di zaman jahiliah:
1.  Pertalian kerabat
2.  Janji setia
3.  Tabanni

B.     Sebab mewarisi di zaman permulaan Islam:
1.      Tabanni
2.      Hijrah
3.      Persaudaraan Muhajirin dan Anshar.
 




Pertemuan II
KEDUDUKAN HUKUM WARIS

A.    Dasar Hukum Kewarisan

I.                   Hukum Kewarisan Islam
1.      al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 14
Artinya: “Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasulnya, dan merubah ketentua-ketentuannya (Allah dan Rasul), niscaya pastilah kami masukkan mereka ke dalam neraka, mereka kekakl di dalamnya, dan bagi mereka azab yang pedih.”

2.      Hadits Rasulullah SAW.
Artinya: “Bagilah harta warisan itu kepada ahli waris, sesuai dengan hukum Allah.”

Kedududukan ilmu waris sama dengan kedudukan mempelajari al-Qur’an. Hadits rasulullah SAW. sebagai berikut:

Artinya: “Pelajarilah al-Qur’an dan ajarkan kepada manusia, dan pelajari pula ilmu waris dan ajrkan kepada manusia.  

II.                Hukum Kewarisan Perdata

1.      Pasal 528 KUH Perdata (BW)
Dalam pasal ini, hak waris di-identikan dengan dengan hak kebendaan. 
2.      Pasal 584 KUH Perdata (BW)
Dalam pasal ini diatur menyangkut hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan, oleh karenanya ditempatkan dalam buku II KUH Perdata (tentang benda).

Penempatan hukum kewarisan dalam buku II KUH Perdata ini menimbulkan pro dan kontra, karena hukum kewarisan tidak hanya tampak sebagai hukum benda saja, tetapi tersangkut aspek hukum lain, seperti hukum perorangan dan kekeluargaan.

Pertemuan III
ASAS-ASAS HUKUM WARIS

A.                Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

1.      Asas Ijbari
Kata ijbari secara etimologi, mengandung arti paksaan (compulsory) yaitu, melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri.
Kata ijbari dalam terminologi ilmu kalau mengandung arti paksaan, dengan arti semua perbuatan seorang hamba bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi atas sebab kehendak atau kekuasaan Allah.
Dengan demikian, peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak pewaris maupun ahli waris.
Unsur ijbari tersebut berlaku terhadap segi peralihan harta, segi jumlah pembagian, dan segi kepada siapa harta itu beralih.

2.      Asas Bilateral
Asas ini berarti, bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, baik garis keturunan laki-laki maupun garis keturunan perempuan (ouder-rechtterlijke). Asas ini secara nyata dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7, yang artinya:
“Bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya”

3.      Asas Individual
Artinya, harta peninggalan dibagi secara pribadi langsung kepada masing-masing. Jadi bukan asas kolektif seperti dianut dalam sistem hukum adat Minangkabau.
Asas ini didasarkan pada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang dalam istilah usul al-fiqh disebut ahliyatul wujub.

4.      Asas Keadilan Berimbang
Semua bentuk hubungan keperdataan berasas adil dan seimbang dalam hak dan kewajiban, untung dan rugi (resiko).
Dengan asas ini, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak tampil sebagai ahli waris, kemudian kadar yang diterima berimbang dengan perbedaan tanggungjawab seseorang.

5.      Asas Kewarisan Hanya Akibat Kematian
Peralihan harta peninggalan seseorang berlaku setelah meninggalnya yang punya harta.

B.                 Asas-asas Hukum Kewarisan Perdata
1.      Asas Hak dan Kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
Hanyalah hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
2.      Asas Kematian
Pewarisan hanya karena kematian (Pasal 830 KUH Perdata)
3.      Asas Individual
Pasal 832 jo. Pasal 852 yang menentukan, bahwa yang berhak menerima warisan adalah suami atau isteri yang hidup terlama, anak beserta keturunannya. 
4.      Asas Bilateral
Pasal 850, 853, dan 856 BW yang mengatur bila anak dan keturunannya serta suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada lagi maka harta peninggalan  diwarisi oleh ibu dan bapak serta saudara baik laki-laki maupun saudara perempuan.
5.      Asas Penderajatan
Artinya, ahli waris yang derajatnya dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.


Pertemuan IV

SEBAB-SEBAB MEWARISI

A.    Sebab timbulnya Kewarisan

1.      Ada Pewaris
Masalah kewarisan baru muncul sebagai syarat mutlak (condition sine quo non) apabila ada muwarits (pewaris), yitu seseorang yang telah meninggal dunia yang memiliki harta peninggalan.
2.      Ada Kematian
Kewarisan hanya berlangsung karena kematian, baik mati hakiki (kematian sejati), mati hukmi (kematian secara hukum), maupun mati taqdiri (kematian yang dipaksakan) contohnya kematian bayi akibat kekerasan kepada ibunya, seperti pemukulan pada perutnya atau ibunya dipaksa minum racun.
3.      Ada Tirkah (budel)
Harta yang ditinggalkan oleh pewaris dapat berupa hak-hak kebendaan berwujud, maupun tidak berwujud, atau kewajiban-kewajiban yang harus dibayar sepanjang harta bendanya cukup untuk membayar utang tersebut.
4.      Ada Ahli Waris
Yaitu orang yang akan menerima tirkah dari pewaris.

B.     Sebab Mendapat Warisan

1.        Sebab Nasabiyah
Ahli waris karena nasabiyah adalah berdasarkan hubungan darah atau keturunan, seperti, anak, ayah, ibu, saudara dan lain-lain. Dalam hal ini, tidak ada alasannya anak angkat mendapat warisan warisan dari sudut pandang nasabiyah. 
2.        Sebab Musaharah
Sebab musaharah adalah karena perkawinan, yaitu suami atau isteri dalam perkawinan yang sah yang masih utuh atau dianggap utuh (misalnya dalam iddah talak raj’i).
3.        Sebab Wala’
Sebab wala’ yaitu, sebab yang terjadi karena memerdekakan budak. Seseorang yang telah membebaskan budak, berhak terhadap harta peninggalan budak itu. Dan sebaliknya begitu juga, akan tetapi sepanjang tidak ada ahli waris yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar